Dibawakan dalam Seminar Gifted-Autisme – ADHD Penanganan dan Permasalahannya, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,
11 December 2004
Julia Maria van Tiel
Kelompok Diskusi Orang Tua anak berbakat
j.v.tiel@hetnet.nl
anakberbakat-owner@yahoogroups.com
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/
1. PENDAHULUAN dan MASALAH
Akhir-akhir ini banyak dilaporkan adanya overdiagnosa dan misdiagnosa terhadap anak-anak gifted (anak berbakat atau anak luar biasa) terutama yang saat balitanya mengalami perkembangan tidak sinkron (disinkronitas perkembangan) dan menerima berbagai diagnosa gangguan mental dan perilaku atau disorder (Webb, 2000; van Vugt-van de Moosdijk, 2002) serta menerima overterapi yang tidak jarang merupakan terapi non medik dan radikal. Anak-anak ini beberapa karakteristik dan tumbuh kembangnya yang berbeda dengan anak-anak normal sering disalahmengertikan bukan saja oleh tenaga kesehatan, psikolog, pendidik, orang tua, tetapi juga oleh masyarakat (Webb, 2000). Tidak disangkal pula bahwa pada anak-anak ini bisa saja terjadi adanya komorbiditas masalah giftedness dan gangguan perilaku maupun gangguan perkembangan, atau sebaliknya masalah karakteristik, kebutuhan dan personalitas anak-anak gifted yang tak tertangani dengan baik akan memberikan gambaran masalah seperti halnya anak-anak bergangguan perkembangan dan perilaku, hal inilah yang paling sering menyebabkan kekeliruan diagnosa (van Vugt-van de Moosdijk, 2002).
Istilah anak gifted atau gifted children dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah anak berbakat, anak luar biasa, dan istilah anak berbakat luar biasa digunakan untuk anak-anak jenius. Beberapa kalangan ahli anak berbakat sering membagi keberbakatan dalam tingkatan IQ, yaitu 130 – 140 adalah moderate gifted, 140- 150 adalah highly gifted, dan > 150 adalah anak jenius. Disamping itu juga pengertiannya akan menyangkut bahwa seseorang yang dapat dikatakan sebagai anak gifted adalah jika ia mempunyai kemampuan inteligensia di atas rata-rata, kreativitas yang tinggi, serta motivasi dan ketahan kerja yang tinggi.
Masalah misdiagnosa ini oleh Webb (2000) diidentifikasi disebabkan karena:
1. Faktor internal.
Selama ini para ilmuwan anak berbakat lebih banyak memfokuskan perhatiannya pada aspek intelektual, atau masalah-masalah akademik. Hingga kini masih sedikit sekali yang memperhatikan pada faktor personalitas dan kaitannya dengan intelektualitas dan kreativitas yang tinggi. Begitu juga sangat minimnya perhatian para ilmuwan untuk melakukan observasi terhadap intensitas faktor personalitas yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam hidupnya bila anak-anak itu mempunyai skor IQ lebih besar dari 130.
2. Faktor situasional.
Minimnya perhatian pendidikan yang sesuai untuk anak-anak gifted, serta kurang toleransinya terhadap faktor personalitas anak gifted baik yang diberikan oleh fihak pendidik, profesi kesehatan, orang tua, dan masyarakat, telah menggiringnya pada label yang keliru yang justru lebih mendorong terjadinya kesalahan diagnosa.
JF Mönks, mantan presiden European Council for High Ability menjelaskan bahwa perkembangan kognitif mempunyai peranan yang besar terhadap perkembangan emosi dan sosial, yang pada akhirnya juga mempengaruhi perkembangan seorang anak secara keseluruhan (Mönks, 1999).
Sementara itu perkembangan kognitif sebagai salah satu faktor yang menentukan prognosa, dalam deteksi dini autisme tidak menjadi faktor yang dilihat.
Situasi ini justru membawa risiko terlibatnya anak-anak gifted ini masuk ke dalam kriteria gangguan perkembangan autisme di bawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) baik dari ICD-10 maupun dari DSM IV menurut APA (American Psychiatry Assosiation). Umumnya anak-anak gifted ini dimasukkan ke dalam kelompok PDDNOS (Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified) karena mereka tidak secara penuh dapat memenuhi kriteria autisme (van Vugt -van de Moosdijk,2002).
PDDNOS ini kemudian disebut sebagai autisme atipikal untuk membedakan dengan autisme klasik, yang kesemuanya kemudian dikelompokkan menjadi autisme spectrum disorder (ASD). Namun kemudian orang tidak bisa lagi membedakan di bagian mana anak itu duduk di dalam spektrum. Dan para orang tua pun tidak lagi menghiraukan perbedaannya antara autisme klasik dan PDDNOS, yang pada akhirnya akan berpengaruh juga dalam memilih dan mencari berbagai terapi yang ditawarkan, serta bimbingan, pengasuhan dan pendidikannya. Sementara itu tingkat penelitian terhadap PDDNOS sangat rendah. Dengan kata lain penyusunan kriteria ini tidak didukung penelitian, baik penelitian untuk melihat prevalensinya, latar belakang neurobiologis, kognitif, dan korelasi psikologisnya. Dengan sendirinya terjadilah peledakan angka autisme yang sebetulnya lebih banyak diduduki oleh angka PDDNOS ( Buitelaar & van der Gaag, 1998; Paternotte, 1997). Sedang dalam uji sensitivitas kriteria untuk membedakan antara PDDNOS dengan non-PDD dengan menggunakan kriteria yang digunakan dalam DSM IV/ICD-10, oleh Buitelaar dkk dilakukan uji lapangan yang diikuti selama tiga tahun, menunjukkan bahwa sensitivitasnya sangat lemah untuk dapat dikatakan sebagai requisite tatalaksana skoring (Buitelaar & van der Gaag, 1998). Dari penelitian yang dilakukan oleh Buitelaar,van der Gaag, Klin & Volkmar (1999) juga memperlihatkan bahwa kelompok PDDNOS ini menunjukkan kategori yang sangat heterogen jika dibandingkan dengan autisme tipikal/klasik.
JK Buitelaar, guru besar ilmu psikiatri dari Universitas Utrecht Negeri Belanda, banyak mengkritik masalah kesalahan diagnosa dengan penggunaan DSM IV/ICD-10 ini, dengan mengatakan bahwa, artinya penggunaan DSM IV/ICD-10 untuk deteksi dini autisme ini sangat lemah untuk dapat membedakan anak-anak dengan gelaja autistik PDD dan non-autistik PDD (Buitelaar & van der Gaag, 1998). Sementara itu, salah satu symptom PDDNOS adalah gangguan dalam komunikasi nonverbal (komunikasi simbolik) yang merupakan sympton paling utama, dimana kondisi defisit ini antara lain akan menyebabkan gangguan fungsi inteligensia dalam kemampuan abstraksi, logika analisis dan kreativitas. Anak-anak ini akan mengalami kesulitan dalam berbagai mata pelajaran yang menggunakan kemampuan analisa dan pemecahan masalah (de Groot & Paagman, 2000, Crealock & Kronick,1993, Levine, 2002). Sehingga bisa dibayangkan bahwa sekalipun anak-anak penyandang PDDNOS ini merupakan spektrum autisme yang paling ringan, namun ia mempunyai gangguan yang parah karena mempunyai defisit dalam area inteligensia yang cukup luas.
Sebaliknya Stanley I Greenspan (1998 a), yang pernah menjabat sebagai direktur lembaga autisme University of Washington, melaporkan bahwa, dalam observasinya terhadap 200 anak-anak yang mendapat diagnosa gangguan perkembangan autisme (PDD/PDDNOS) sekalipun tidak sejelas seperti apa yang diterangkan oleh Kanner tetapi sudah nampak di usianya yang ke satu, dan ke dua, atau ke tiga, namun di usia setelah itu setiap anak akan berkembang dengan keunikannya masing-masing, bahkan sangat komunikatif (menggunakan kalimat yang kompleks dan adaptif), kreatif, hangat, penuh rasa cinta, dan gembira. Mereka duduk di sekolah-sekolah umum, berprestasi dalam kegiatan belajar, menyenangi persahabatan, dan terutama sangat imajinatif dalam bermain (Greenspan, 1998a). Melihat keadaan ini maka Greenspan lebih cenderung untuk mengusulkan menggunakan terminologi MSDD (Multisystem Development Disorder).
Sementara itu kriteria MSDD sendiri yang merupakan kriteria yang terbuka (yang mengakui bahwa kelaknya diantara anak-anak yang mempunyai symptom autistik ini akan keluar dari kriteria) dapat diartikan mempunyai spektrum yang panjang yang dimulai dari kelompok anak autistik tipikal/autisme klasik hingga non-autistik PDD. Namun MSDD ini bukanlah subtreshold kriteria autisme, kriteria MSDD adalah kriteria itu sendiri, dan tidak juga dapat untuk membedakan antara anak-anak yang memang penyandang autisme dan anak-anak yang mempunyai gangguan perkembangan lainnya (Buitelaar & van der Gaag, 1998).
Kembali pada pernyataan van Vugt-van de Moosdijk (2002) yang adalah seorang orthopedagog pada sekolah lanjutan luar biasa Belanda (voorgezet special onderwijs), melaporkan bahwa ia seringkali menerima murid-murid yang ternyata mengalami kesalahan diagnosa, yang tentu saja akan berpengaruh pada metoda pendidikan yang harus diberikan padanya. Anak-anak yang dikirim padanya lebih banyak untuk mengatasi masalah yang disandang anak tersebut. Terbanyak adalah anak-anak dengan diagnosa ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan autisme. Dalam pengamatannya itu ia melihat, bahwa jika anak-anak itu hanya diberi penanganan untuk mengatasi gangguannya, umumnya keadaannya bukan malah membaik, tetapi justru malah lebih memburuk dan menimbulkan masalah sosial emosinal yang lebih parah. Hal ini sering terjadi pada anak-anak dan balita gifted yang mempunyai juga gejala autisme. Masa-masa ketegangan dan rasa takut yang disebabkan misalnya karena ketidak pastian dan perubahan-perubahan yang tidak dijelaskan terlebih dahulu, hal ini semua bisa menyebabkan jatuhnya ia ke dalam perilaku mundur yang sangat kekanakan.Di sisi lain anak-anak berinteligensia tinggi dengan Asperger syndrom seringkali memang mendapatkan bantuan dengan cara memberinya kemungkinan pada dunia yang teratur dan bisa diprediksi, tetapi seringkali juga perkembangan inteligensianya dilupakan. Dengan begitu pengurangan ketegangan hanya sebagian saja. Sehingga pada suatu saat jika ternyata ada bagian dari terapi yang gagal, maka ketegangannya akan kembali mencuat. Perilakunya kembali mundur (van Vugt- van de Moosdijk, 2002).Padahal Greenspan (1998b) menjelaskan bahwa anak-anak yang masa kecilnya mempunyai beberapa symptom autisme namun setelah besar menunjukkan prestasi yang sangat baik itu, adalah anak-anak yang mempunyai dorongan internal yang sangat kuat untuk mengembangkan intelektualistasnya. Bila dorongan internal yang sangat kuat ini terhambat, hal ini hanya akan menimbulkan permasalahan baru lainnya.
Melihat masalah anak gifted yang kini banyak terdiagnosa berbagai gangguan perilaku, mental, dan perkembangan ini, demi kepentingan pengasuhan, bimbingan dan pendidikan baginya sebaiknya anak-anak ini sejak dini perlu dideteksi agar kepadanya dapat diberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhannya. Namun terdapat kesulitan sampai saat ini belum ada tes dari ilmu psikologi yang mampu mendeteksinya. Tes keberbakatan baru bisa dilakukan dan hasilnya dapat dipercaya setelah anak itu berusia di atas 6 tahun (Resing & Drenth, 2001). Karena anak-anak ini mendapatkan berbagai diagnosa gangguan ini, banyak diantara anak-anak ini tidak diterima di sekolah-sekolah umum, dianjurkan ke SLB, atau bahkan hanya di rumah-rumah terapi autisme tidak mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan tidak sekolah. Anak-anak ini menjadi tidak terarah. Bimbingan kepada orang tua yang kebingungan juga sangat minim.
Anak-anak ini bukan hanya terdiagnosa sebagai autisme, namun anak-anak ini juga cocok dengan berbagai gejala gangguan mental lainnya seperti ADHD, ADD, ODD, bi-polar/ mania-depresif, schizofrenia dan retardasi mental. Sehingga tidak jarang ada seorang anak yang menerima berbagai diagnosa dari diagnotician yang berbeda.
Ambil contoh salah satu anggota kelompok kami, saat anak ini berusia tiga tahun, ia menerima diagnosa autisme. Saat ia berusia empat tahun dan sudah mampu berbicara ia menerima diagnosa ADHD. Waktu anak ini akan memasuki usia SD, fihak sekolah menuntut adanya test IQ, karena kemampuan verbalnya masih tertinggal maka skor yang diterima adalah 70 dan dinyatakan mental retarded, maka dokter mengganti diagnosa menjadi brain injury dan ADD (karena sudah tidak hiperaktif lagi). Dianjurkan masuk sekolah luar biasa. Orang tua menolak, dan mencoba mencari sekolah dasar tanpa menceritakan latar belakang kondisi anak. Saat anak itu di sekolah dasar dapat berpretasi dengan baik dan tidak mengalami learning disablities (gangguan belajar seperti disleksia, disgrafia, dan diskalkulia) sebagaimana yang biasa dialami anak-anak yang mengalami brain injury dan ber IQ rendah.
Sementara itu, autisme yang merupakan long live disabilities di masyarakat luas kini timbul pengertian bahwa ada kelompok autisme yang bisa sembuh atau disembuhkan dengan pengobatan. Dan anak-anak yang keluar dari kriteria autisme dimanfaatkan oleh fihak tertentu sebagai testemonial untuk menunjukkan keberhasilan terapi.
Sampai kini, melihat sulitnya membedakan antara autisme, autistik PDD, dan non-autistik PDD, terlebih pada anak-anak batita, maka banyak kalangan mengatakan bahwa apapun anak itu kelak jadinya jika anak itu menunjukkan symptom autisme maka sebaiknya diterapi saja sebagaimana autisme, daripada menunggu sampai anak itu berusia di atas tiga, empat atau lima tahun, jika ternyata memang autisme bisa jadi justru hal ini akan menyebabkan keterlambatan. Dengan asumsi bahwa, anak yang memang kelaknya akan keluar dari kriteria autisme dengan diterapi menggunakan metoda terapi autisme, akan keluar juga dari autismenya. Pernyataan spekulatif ini menyebabkan para orang tua justru menjadi panik dan segera mencari terapi yang tidak terarah. Lebih ironis berbagai media justru menyajikan tawaran pengobatan yang memberikan harapan. Sementara itu, berbagai terapi autisme yang populer saat ini masih merupakan terapi yang tidak pernah mempunyai latar belakang penelitian ilmiah yang dapat dipercaya, seperti yang disebutkan oleh Herbet (2002), van der Sijde (2002), Honstra (2003) yaitu : sensory-motor therapy (Auditory Integration Therapy, Sensory Integration), Holding threrapy, Option Therapy, Biomedical Treatment (secretin, Vitamin B dan magnesium, diet bebas gluten dan casein, Dimethylglycin), terapi jamur kandida, Applied Behaviour Analysis (ABA), dan TEACCH. Berbagai terapi ini hanya dilatar belakangi dengan testemonial. Terapinya semakin semarak saat berbagai terapi alternatif tradisional maupun moderen dari dalam maupun dari luar negeri turut meramaikan pasaran seperti : senam otak (Brain Gym),craniosacral therapy, akupuntur, biofeedback, chi-kung, prana, reiki, terapi lumba-lumba, pembaluran dengan protein, garam epsom, dan sebagainya.
Sebaliknya, potensi keberbakatan pada anak-anak balita kelompok ini justru seringkali tidak nampak, tertutupi oleh masalah dan kesulitan perkembangan yang disandangnya, karena itu lebih banyak orang tua yang menolak jika dinyatakan bahwa kemungkinan anaknya adalah balita gifted. Hal ini juga berkaitan dengan masalah budaya yang malu jika mengakui mempunyai anak gifted atau anak berbakat. Oleh berbagai profesi dan fihak sekolah, potensi keberbakatan pada anak-anak kelompok seperti ini juga seringkali diremehkan, hanya dilihat permasalahan yang ditampilkannya belaka. Tidak jarang juga terjadi kecurigaan terhadap fihak orang tua, dikhawatirkan jika orang tua mengetahui bahwa anaknya adalah anak berbakat, maka para orang tua akan melalaikan menangani masalah anaknya. Sistem referal juga belum berjalan, sehingga tidak ada referal dari bidang kesehatan ke psikologi atau orthopedagogi yang bidang kajiannya pada perkembangan anak berbakat. Para orang tua yang curiga terhadap ‘kebolehan’ anaknya justru yang sering berusaha sendiri mencari-cari opini lain.
Diagnosanya sering berganti-ganti, terapi dan medikamentosa pun berganti-ganti. Umumnya saat anak ini di bawah tiga tahun saat belum berbicara ia terdiagnosa autisme, saat sudah mampu berbicara terdiagnosa ADHD, namun saat usia 6 tahun dan sudah tidak hiperaktif lagi terdiagnosa ADD, jika sudah berprestasi terdiagnosa Autisme Asperger. Bagaimana bisa begini?
Pada umumnya mereka adalah anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara, sebagaimana Greenspan (1995) yang mengidentifikasi anak-anak ini mengalami gangguan processing auditive dan memiliki logika analisis yang tinggi, Sword (2002) juga menyebutnya sebagai anak Gifted with Centrum Auditory Processing Disorder (CAPD). Linda Silverman ( 1997,1998 ) menyebutnya sebagai Gifted Visuo-Spatial Learner. Secara populer kelompok anak ini sering juga disebut Einstein Syndrom (Sowel, 2001) . Anak-anak ini sering juga terdiagnosa ADHD, karena banyak gerak, dan sangat mudah beralih perhatian atau tersasar ke kegiatan lain sehingga nampak bagai anak bergangguan konsentrasi (Greenspan, 1995; Nijenhuis, 2003). Namun symptom ADHD haruslah ditunjukkan pada semua setting (Gunning, 1998). Sedang anak-anak ini mempunyai periode yang berubah-ubah, nampak tidak bisa berkonsentrasi tetapi ada periode ia berkonsentrasi sangat intensif dan introvert (Silverman, 1998). Dan menurut Gunning (1998) pula, pada diri seseorang tidak bisa ada dua kepribadian sekaligus, yaitu introvert sebagaimana halnya autisme, sekaligus juga extrovert sebagaimana ADHD.
Menegakkan diagnosa CAPD ini juga tidak mudah, karena salah satu kondisi yang menentukan bahwa anak ini mengalami CAPD adalah apabila si anak memiliki perkembangan inteligensia yang baik. Namun di Indonesia belum ada alat ukur yang cocok untuk anak Indonesia yang dapat digunakan oleh dokter tumbuh kembang sebagai alat ukur pemantau berkala perkembangan kognitif seorang anak, dimana seorang dokter anak tumbuh kembang dengan hasil pemantauan perkembangan kognitif itu dapat memperkirakan diagnosa gangguan perkembangan bicara ini kearah mana.
Memberikan terapi pada anak-anak gifted yang mengalami perkembangan disinkroni ini tentunya tidak bisa disamakan dengan memberikan terapi pada anak autisme, ataupun ADHD, karena psiko-neurobiologisnya dan prognosanya memang berbeda. Mengingat prevalensi penderita CAPD cukup tinggi yaitu 2 – 3 persen dari anak yang lahir (Chermak & Musiek, 1999), dimana anak-anak itu mempunyai spatial ability dan logika analisis yang baik sebagaimana karakteristik anak gifted, maka kiranya pula para audiolog dan ahli THT diharapkan turut berperan secara aktif dalam deteksi dini ini. Sedang anak berbakat yang tidak mampu berprestasi karena masalah disinkroni dan tidak cocoknya metoda pendidikan baginya adalah setengah dari populasi anak berbakat yaitu setengah dari jumlah 3 – 5 persen dari anak yang lahir (Hoop & Janson, 1999, Nelissen & Span, 1999).
Jumlah ini merupakan anak yang mempunyai prognosa sangat baik namun mempunyai resiko mendapatkan salah diagnosa yang justru sangat tidak menguntungkan.
2. PENGERTIAN KEBERBAKATAN
Renzulli mengidentifikasikan bahwa seorang anak yang dapat dikatakan sebagai anak berbakat jika ia mempunyai:
1) inteligensia yang tinggi di atas rata-rata ;
2) kreativitas yang tinggi;
3) motivasi dan ketahanan kerja yang tinggi
Namun Mönks menambahkan potensi itu tidak akan terwujud jika tidak ada dukungan dari keluarga, sekolah, dan lingkungan. Dari kedua ahli ini maka dilengkapilah pengertian apa yang disebut keberbakatan dengan ringkasan yang disebut Triadik Renzulli-Mönks.
Gambar 1 Triadik Renzulli-Monks
Dalam upaya membicarakan keberbakatan ini, Mönks & Knoers (1999) menjelaskan bahwa:
inteligensia adalah hal yang setidaknya merupakan faktor yang stabil, sedang kreativitas dan motivasi merupakan faktor yang banyak dipengaruhi lingkungan.
Dalam hal ini de Hoop (1999) menjelaskan pengertian-pengertian di atas sebagai berikut:
1)Kapasitas intelektual secara umum
Aspek ini jangan dikacaukan dengan prestasi di sekolah. Mengerjakan sesuatu tanpa salah misalnya soal berhitung bukan berarti bahwa ia mempunyai inteligensia yang tinggi, dan bukan berarti pula anak yang banyak berbuat salah lalu merupakan anak yang berinteligensia tinggi.
Hal ini berkaitan dengan:
• kecepatan dalam penangkapan pengertian
• kemampuan dan kecepatan mencari solusi problem meski hanya sedikit petunjuk terhadap inti permasalahan
• selalu ingin segera dan cepat-cepat menyelesaikan problem (tugas sekolah) dengan caranya sendiri dan tidak mengikuti langkah-langkah aturan yang diberikan guru
• segera menggunakan informasi terbaru dan segera mengolahnya dengan informasi yang sudah dimilikinya
• mempunyai kemampuan dengan hukum-hukum (dalil-dalil) yang sudah ada yang membawanya kearah konsekwensi pemikiran yang lebih jauh.
Dalam hubungan ini penting pula artinya dengan kemampuan dan pengalaman berbahasa, yang kemudian akan nampak sekali performa intelektualitasnya. Dan juga nampak aspek intelektual apa yang dimilikinya. Hal ini berkaitan erat dengan dalam kultur apa anak ini dibesarkan.
Bahasa aktif dan pasif yang cukup merupakan hal yang mendukung, seperti misalnya penyebutan kata-kata, serta luwesnya penggunaan bahasa, yang mampu menjelaskan secara sistematis latar belakang apa yang menjadi perhatiannya, yang kesemuanya mampu menunjukkan bahwa ia memiliki intelegensia yang tinggi.
Marland menyebutnya sebagai gelaja “bakat kemampuan ilmiah yang khas”. Kurang lebih digambarkan:
• rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu dengan pertanyaan “mengapa” terhadap berbagai fenomena yang dilihatnya
• selalu ingin cepat-cepat mencari sendiri metoda pemecahan masalah, atau berbagai variasi pemecahan masalah guna reproduksi apa yang sudah dicapainya
• kesadaran akan pemanfaatan sebuah metoda pemecahan masalah (terutama dalam situasi darurat) yang dipilihnya dengan dasar pandangannya terhadap masalah yang tengah dihadapinya, dengan cara melihat kekurangan dan kelebihannya
• kemampuan memanfaatkan keberbakatannya dalam hal abstraksi yang sangat tinggi
2)Kreativitas
Pengertian kreatif bukan berarti bahwa anak ini kreatif dengan misalnya “creatieve met kurk” (kiasan untuk mengatakan bahwa kreatif yang sembarangan). Tentu saja ada berbagai bidang dari seni yang dapat diartikan sebagai kreatif, misalnya seni ukir, drama, tari, sastra, musik, dan seni audio-visual. Mampu menberi warna gambar yang rapih, mampu membuat renda dan bisa menyanyi bagus belum tentu secara langsung merupakan sinyal dari kreatif.
Bila kita berbicara soal kreatif adalah dalam konteks kemampuan yang orisinal, interpretasi yang orisinal, atau solusinya yang orisinal guna menciptakan sesuatu yang bernuansa seni, maka kreatifitas dapat dikatakan sebagai berikut:
• dalam membuat gambar/lukisan di mana anak itu mempunyai cara sendiri dalam menuangkan imajinasinya dalam bentuk yang dapat kita lihat dengan mata misalnya berupa lukisan/gambar
• dalam mewujudkan imajinasi bentuk tiga dimensi antara bentuk dan maksud dari model, ia tampilkan dengan caranya sendiri
• dalam menampilkan nuansa musik, ia melakukan interpretasi sendiri yang kemudian lebih disempurnakan dengan musik yang sudah ada
• dalam menjalankan peran dalam suatu kegiatan teater, ia mampu menjiwai peran itu sehingga mampu menunjukkan apa yang tengah diperankan itu menjadi hal yang seolah benar-benar nyata dan hidup
• dalam penggunaan alat-alat video-visual ia mempunyai kemampuan yang sangat prima dengan caranya yang unik dalam mewujudkan apa yang dimaksudkan
• dalam suatu kegiatan seni sastra ia penuh dengan emosi dalam mewujudkan apa yang difikir dan dirasakan itu
Walau begitu, kreativitas berarti tidak hanya berkaitan dengan seni, yang terpenting adalah bagaimana memecahkan suatu problem dengan caranya sendiri serta mencari tahu sendiri problem apa yang tengah terjadi hingga muncullah suatu kreativitas .
Dalam aspek kreatif ini, fleksibilitas memainkan peranan yang sangat penting, berupa hadirnya situasi baru, misalnya adanya kejutan temuan baru, atau kejutan kesalahan, pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada perkayaan pencarian temuan-temuan baru. Hal di atas justru menantang mereka untuk terus secara mandiri dan dengan kekuatannya sendiri, mencari kemungkinan-kemungkinan baru, dan ini semua merupakan tanda-tanda dari suatu kreativitas yang disandang oleh seorang anak berbakat. Namun dalam mewujudkan kreativitas ini, seorang berbakat juga selalu menggunakan intuisinya yang sangat tajam. Dalam kenyataannya bisa saja terjadi sesuatu hal diwujudkannya secara tiba-tiba (dengan suatu kejutan) berdasarkan intuisi yang berkaitan erat dalam proses kemampuan kreativitas yang dimilikinya.
3)Kemampuan yang terus menerus dan motivasi yang tinggi.
Aspek ketiga ini adalah bagian dari segitiga Renzulli-Mönks yang merupakan sangat erat berkaitan dengan tujuan yang harus dicapai. Dengan kata lain bahwa anak itu sendiri yang menetapkan tujuan akhir apa yang akan dicapainya sehingga menanamkan motivasi dan secara emosional berkaitan dengan apa yang tengah dikerjakan, walaupun sifat ini bukan hanya dimiliki oleh anak berbakat saja.
3. MENGENALI ANAK & BALITA BERBAKAT
Kelompok kami (para orang tua anak berbakat), mempunyai anak balita dan anak-anak yang lebih besar berbakat (terlebih mereka yang merupakan anak berbakat luar biasa), umumnya mengalami kefrustrasian dan keputus-asaan menghadapi perilaku anaknya, begitu pula gurunya. Ketidak mengertian akan perilaku yang dianggapnya menyimpang dari pola normal menyebabkan para orang tua dan guru berfikir kearah gangguan perilaku dan mental. Karena itu agar tidak terjadi kesalah mengertian terhadap anak-anak ini dibutuhkan pengetahuan yang luas untuk memahami berbagai aspek tumbuh kembang serta personalitasnya, yang tentu saja memerlukan bantuan dari berbagai ahli yang mempunyai perhatian pada anak-anak berbakat secara multidisiplin. Pemahaman ini bukan saja akan memberikan ketrampilan dalam tugas pengasuhan dan pendidikannya secara baik, dalam menghadapi masa balita yang penuh dengan gejolak tumbuh kembang yang berbeda dari anak lain pada umumnya ini, yang betul-betul melelahkan, menguras tenaga dan fikiran, tetapi juga pengetahuan yang luas ini, akan mampu menumbuhkan rasa kesabaran yang luar biasa bagi orang tua. Sering pula dibutuhkan family counceling karena sering terjadi ketidak samaan pendapat dalam memandang faktor kuat dan faktor lemah si anak yang tidak jarang menyebabkan percekcokan rumah tangga dan berakhir pada perceraian. Pengetahuan ini sangatlah penting karena masa balita adalah masa yang sangat rentan dalam tumbuh kembangnya, dan anak-anak ini tentu saja memerlukan lingkungan yang aman agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.
Dalam bidang anak berbakat, sering kita temui konsep disinkronitas perkembangan anak gifted. Konsep ini dimasukkan oleh seorang psikolog Perancis bernama Jean-Charles Terrasier di tahun 1970-an (de Hoop & Janson, 1999). Dari konsep ini kemudian tumbuhnya pengertian tentang ketidak sinkronan perkembangan anak-anak gifted yang kemudian berakibat dalam berbagai perkembangan perilaku yang menyimpang dari pola umum, sekaligus juga mengakibatkan berbagai prestasi yang tidak seimbang dari anak-anak ini dan berbuntut pada kefrustrasian, agresivitas, penarikan dan isolasi diri, pelepasan energi secara negatif, rendah diri, jatuhnya prestasi di sekolah, dan mudah tersinggung (Jurgens, 1991). Hal inilah yang menyebabkan potensi keberbakatannya menjadi tertutupi oleh masalah yang dimilikinya.
Berbagai kesulitan bermain dengan teman sebaya, bukan hanya karena anak-anak ini mempunyai seleksi permainan yang sangat tinggi, tetapi juga karena gaya berfikir yang berbeda (global dan perfeksionis), gerak motorik yang berbeda (van der Kolk-Wolthaar, 1997) tetapi juga anak-anak ini eigenwijs (mengikuti keinginan dirinya sendiri), dalam bermain bersama tidak mau dicampuri (Mooij, 1991).
Sementara itu kini di Belanda, pada anak-anak yang mempunyai perkembangan kognitif lebih maju daripada anak-anak lain (sekalipun mempunyai ketertinggalan di beberapa domain perkembangan yang disebabkan tidak sinkronnya perkembangan itu) lebih dikenal dengan istilah kinderen met ontwikkeling voorsprong yang artinya anak yang mengalami loncatan perkembangan (de Bruin-de Boer & de Greef, 1991, van Gerven, 2001). Pelacakan anak-anak yang mengalami loncatan perkembangan ini dilakukan oleh para dokter anak tumbuh kembang di konsultasi biro (semacam BKIA di Indonesia) dengan menggunakan status van Wiechen. Status ini telah digunakan beberapa tahun terakhir ini dan telah dipakai bagi seluruh balita Belanda, yang pelacakannya menggunakan kriteria 1) motorik halus, adaptasi, kepribadian dan perilaku sosial; 2) komunikasi; 3) motorik kasar. Termasuk juga pelacakan kemajuan kognisi (Stam, 2001).
Kepadanya juga tidak bisa dilakukan test inteligensia yang kemudian hasilnya dirata-ratakan (total skor IQ) karena justru hanya akan memberikan penafsiran yang keliru. Anak-anak ini akan menunjukkan profil IQ yang tidak harmonis, yang jika dirata-ratakan hanya akan menunjukkan bagai anak dengan IQ rendah. Sementara itu jika hanya melihat adanya deskrepansi antara verbal IQ dan performal IQ hanya akan menunjukkan bahwa anak ini bagai anak autisme (v/P atau deficit dalam kemampuan verbal). Karena itu dibutuhkan penafsiran hasil test yang lebih teliti dengan cara menginterpretasi setiap subtes secara lebih canggih ditambah dengan laporan kualitatif sebagai hasil pengamatan yang panjang.
Anak-anak ini sering juga disebut Twice Exceptional Gifted (anak gifted dengan keistimewaan ganda) atau kadang disebut juga Gifted with Learning Disable (anak gifted dengan gangguan belajar). Sekalipun dalam berbagai tes inteligensia menunjukkan profil verbal dan performal yang tidak harmonis ternyata bukan berarti kemudian anak ini kelaknya akan mengalami learning disabilities (kesulitan belajar seperti disleksia, diskalkulia, disgrafia). Hasil penelitian di banyak negara di tahun-tahun terakhir ini, misalnya saja yang dilakukan oleh Judith Reuver (2004) menunjukkan bahwa anak-anak yang mempunyai profil tidak harmonis itu belum tentu akan menyebabkan learning disabilities. Sedang kesulitan membaca, mengeja, berhitung, dan menghapal lebih banyak disebabkan karena gaya berfikirnya yang simultan dan global (gestalt) yang disebabkan karena ia adalah seorang anak yang visual learner. Silverman (1997,1998 ) menyebutnya sebagai gifted visuo-spatial learner. Gaya berfikir yang gestalt ini tidak sesuai dengan metoda konvensional pendidikan di sekolah yang menuntut setiap anak untuk bisa menerima pelajaran dengan gaya berfikir sekuensial (Silverman, 1997 ). Tuntutan yang berbeda dengan gaya berfikirnya inilah yang menyebabkan anak-anak ini tidak mampu menyesuaikan diri, tertekan, dan berakibat pada nampak seperti anak gangguan konsentrasi, tidak berprestasi, atau menarik diri, dan berakibat terdiagnosa sebagai penyandang ADHD atau Autisme.
Anak-anak ini juga sering menunjukkan seolah mempunyai kreativitas yang rendah, namun yang terjadi adalah potensi kreatif yang tinggi ini tertutupi oleh perkembangan faalangst negatif yang besar (perasaan merasa tidak bisa padahal sesungguhnya bisa) suatu kondisi yang sering menyertai anak-anak berbakat, terutama anak berbakat muda . Faalangst lebih sering diakibatkan oleh adanya karaketeristik perfeksionis yang dimiliki oleh individu gifted (Overbeek, 2001).
Karakteristik perfeksionis dan kreativitas yang sangat tinggi justru menyebabkan masalah yang kemudian memberikan gambaran seolah mempunyai gangguan perkembangan perilaku. Perfeksionismenya menyebabkan ia melakukan seleksi permainan yang sangat khas dan variasi yang sempit, tetapi kreativitasnya menyebabkan ia selalu mencari cari hal yang sesuai dengan pilihannya. Dengan kata lain perfeksionis mengarah pada konvergensi, dan kreativitas mengarah pada divergensi perilaku. Hal-hal inilah yang menyebabkan ia menjadi seperti anak yang bergangguan konsentrasi, ditambah lagi dengan masalah sensomotoris yang berkembang hebat (Monks & Knoers, 1999).
MASALAH YANG DAPAT DITIMBULKAN KARENA KARAKTERISTIK ANAK BERBAKAT
Karakteristik anak berbakat bukan melulu bahwa ia mempunyai kecerdasan tinggi, namun berbagai karakteristik yang dimilikinya dapat menimbulkan berbagai masalah baik masalah perilaku agresif, gangguan psikologis, sosial, dan psikosomatik. Bisa kita lihat seperti bagan di bawah ini:
MASALAH YANG MUNGKIN DAPAT TERJADI AKIBAT FAKTOR KUAT ANAK BERBAKAT
FAKTOR KUAT KEMUNGKINAN MASALAH
Mudah menerima/mengingat informasi Tidak sabaran; tidak menyukai latihan dasar
Rasa ingin tahu tinggi; mencari yang bermakna Bertanya yang tidak-tidak/memalukan; minatnya berlebihan
Motivasi dari dalam Kemauan tinggi; tidak suka campur tangan orang lain
Senang menyelesaikan masalah; dapat membuat konsep, abstraksi & sintesa Tidak suka hal-hal rutin; mempertanyakan cara pengajaran
Mencari hubungan sebab akibat Tidak menyukai hal yang tidak jelas dan tidak logis, misalnya tradisi dan perasaan
Menekankan kejujuran, keadilan, dan kebenaran Kawatir sekali akan masalah kemanusiaan
Senang mengorganisir berbagai hal Membuat peraturan rumit; tampil bossy
Kosakatanya banyak; informasinya luas & mendalam Memanipulasi menggunakan bahasa ; bosan dengan teman sekolah & sebayanya
Harapan tinggi akan diri sendiri dan orang lain Tidak toleransi, perfeksionis, bisa menjadi depresi
Kreatif/banyak akal ; senang menggunakan caranya sendiri Dianggap mengganggu dan diluar “jalur”
Konsentrasinya intensif; mencurahkan perhatian yang besar dan sulit dibelokkan pada hal yang diminati Lupa kewajiban dan orang lain saat sedang konsentrasi; tidak suka disela/diganggu; keras kepala
Sensitif, empati; ingin diterima oleh orang lain Sensitif terhadap kritik atau penolakan dari sebayanya
Energy, semangat tinggi serta sangat alert Frustrasi karena tidak ada kegiatan ; tampak seperti hiperaktif
Independen, memilih bekerja sendiri ; bertumpu pada diri sendiri Menolak masukan dari orang tua dan sebayanya, tidak bisa kompromi
Bermacam-macam minat & kemampuan; berubah-ubah Tampil tidak terorganisasi & berantakan; frustrasi karena kekurangan waktu
Rasa humor tinggi Sebagiannya dapat salah menangkap humornya; mencari perhatian di kelas dengan “melawak”
Sumber: Nurturing The Social Emotional Development of Gifted Children,
4.GEJALA ANAK YANG MENGALAMI LONCATAN PERKEMBANGAN
(kinderen met ontwikkeling voorsprong)
Karena untuk deteksi balita yang mempunyai potensi gifted belum dapat dilakukan tes IQ, maka Alja de Bruin – de Boer (2003) memberikan beberapa patokan sebagai pegangan untuk melihat gejala-gejala pada balita yang mengalami loncatan perkembangan, bahwa kita bisa melihat dari hal-hal berikut ini :
• Motoriknya berkembang sangat baik : umumnya pada usia yang masih sangat muda anak-anak ini mempunyai perkembangan motorik yang lebih baik dari anak seusianya. Mereka duduk dan berjalan lebih dahulu dari teman sebayanya, dan masih sangat muda sudah dapat bermain dengan material yang kecil kecil.
• Penggunaan bahasa yang sangat baik : sebagian anak berbakat mempunyai perkembangan bicara dan bahasa yang sangat cepat, tetapi sebagiannya lagi mengalami keterlambatan bicara namun lambat laun ia akan segera menyusul ketertinggalannya dan segera menggunakan bahasa yang sulit seperti misalnya ‘mesin cuci baju ‘. Mereka memiliki vokabulari yang luas yang hanya sekali saja ditangkapnya dan esoknya sudah bisa menggunakannya dalam konteks yang benar. Penambahan kata-kata kerja juga baginya akan tidak menjadi masalah.
• Sangat mandiri : para orang tua melaporkan bahwa anak-anak ini sejak masih kecil sekali sudah ingin melakukan segala hal sendiri. Makan sendiri, pakai baju, dan menalikan tali sepatu.
• Memiliki enerji yang luar biasa dan sangat banyak gerak : anak-anak ini bagai anak yang tak pernah lelah. Sering mereka sangat sedikit membutuhkan waktu atau jam tidur, dan selalu ingin melakukan berbagai hal. Sejak kecil sekali ia sudah membenci pengulangan-pengulangan, karenanya ia seperti tidak mau lagi melihat alat-alat permainannya. Mereka memiliki begitu banyak interes dan selalu bertanya. Bila ia mendapatkan satu jawaban, segera jawaban itu akan berbuntut dengan pertanyaan baru. Sebagian dari anak-anak ini tidak mau segera menerima begitu saja pendapat orang lain, misalnya dia tak ingin mendengarkan jika api itu panas, dan ia ingin mencobanya sendiri benarkah api itu panas. Dia juga ingin sekali tahu bagaimana jika roti diletakkan ke dalam videorecorder sebagi ganti videocasset.
• Dalam berbicara mempunyai perhatian ke masalah spesifik: cerita-cerita para orang tua tentang anaknya di usia 2 – 2,5 tahun yang sangat sering adalah cerita tentang merek-merek dan tipe mobil. Anak-anak kecil biasanya bertukar bidang perhatiannya dan akan berubah-ubah di beberapa bulan. Jika ia lebih dewasa bidang perhatiannya akan lebih lama bertahan.
• Sangat cepat akan pemahaman dan logika analisis : anak-anak yang mempunyai loncatan perkembangan pada usia yang sangat dini mempunyai memori yang sangat baik, dan mempunyai kemampuan menghubungkan kejadian satu dengan kejadian lainnya, di mana anak-anak lain masih belum mampu.
• Mempunyai kreativitas dalam bermain : anak-anak yang mengalami loncatan perkembangan ini, sejak masih kecil sudah bisa melakukan permainan fantasi. Jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya, ia akan lebih dulu dapat bermain dalam peran yang tetap dan mampu bermain dalam suatu konflik yang sangat detil. Dia tidak bisa mengerti mengapa teman-teman sebayanya tidak bisa mengambil peranan atau ikut dalam aturan permainan yang harus dipegangnya.
• Lebih cepat belajar membaca dan berhitung : melalui kemampuan pengenalan, melalui banyak pertanyaan yang diajukannya, serta daya ingat yang sangat baik, anak-anak dengan loncatan perkembangan akan lebih cepat belajar membaca dan berhitung. Dengan begitu ia akan belajar huruf huruf melalui permainan, misalnya huruf M ada di Mc Donald, Mora, atau Coklat Mars.
Mooij (1992) mengutip Freeman (1983) Heinbokel (1988) dan Laycock (1957) tentang gejala anak-anak gifted sejak bayi yaitu :
- seringkali lahir sebagai bayi besar dan berat
- sering menunjukkan bunyi-bunyian (menangis, membuat bunyi-bunyian)
- banyak gerak dan hidup, mempunyai banyak enerji
- sangat dini sudah menginginkan dan dapat mengangkat kepala
- menunjukkan perhatian yang besar dan ingin melihat segala sesuatu
- sangat tidak sabaran dan selalu tegang
- sangat dini sudah mempunyai kontak mata
- menginginkan penerapan segera apa yang diketahuinya, atau sibuk menerapkan ke suatu tujuan, semuanya itu atas kebutuhan dorongan motivasi internalnya, dan tidak bisa digantikan karena adanya pujian, penghargaan, atau hadiah
- sangat kuat dengan keinginan dan kearah perfeksionisme
- mempunyai daya ingat yang sangat kuat
- mempunyai hubungan emosi yang kuat dengan apa yang tengah dikerjakannya, misalnya dalam bidang ilmu-ilmu murni, bahasa, seni, musik, sosial, bidang psikomotor atau praktis
- sangat baik dalam hal : bicara, melakukan abstraksi, generalisasi milai dari hal yang sederhan sampai yang istimewa, pemahaman terhadap pengertian-pengertian, dan peletakan hubungan
- mempunyai rasa ingin tahu intelektualitas yang besar
- mudah menerima pelajaran
- mempunyai bidang minatan yang luas
- mempunyai perhatian yang besar pada pemecahan masalah dan melakukan realisasi berbagai minatnya
- penggunaan bahasa baik secara kualitas maupun kuantitas berada di atas teman sebaya
- mandiri dan sangat efektif dalam bekerja
- dapat membaca di usianya yang masih sangat dini
- mempunyai kemampuan observasi yang baik
- menunjukkan inisiatif dan orijinalitas dalam kerja intelektual
- bereaksi secara alert dan cepat mendapatkan ide-ide baru
- cepat mengingat sesuatu
- mempunyai perhatian yang besar dalam hal-hal kemanusian
- mempunyai imajinasi yang luar biasa
- mudah mengikuti petunjuk yang kompleks
- pembaca cepat
- mempunyai banyak hobby
- senang membaca berbagai macam hal
- menggunakan perpustakaan secara efektif
- sangat pandai dalam matematika/berhitung, terutama dalam hal pemecahan masalah.
5. GIFTED VISUO-SPATIAL LEARNER
Umumnya kita mengenal perkembangan bicara anak-anak gifted mempunyai perkembangan yang harmonis, dengan perkembangan kemampuan bicara dan bahasa yang sangat baik. Sehingga berbagai subtes IQ-nya menunjukkan keharmonisan serta di usia dini sudah dapat dikenali bahwa ia memiliki skor IQ yang tinggi.
Namun tidak demikian, akhir-akhir ini dikenal berbagai tipe anak gifted lainnya yang sampai saat ini di Indonesia masih belum populer.
Antara lain salah satu tipe yang sering dibahas oleh Linda Silverman (1997, 1998), direktur Gifted Development Center Amerika, menyebut anak-anak ini dengan sebutan Gifted Visuo-spatial Learner. Psikolog umumnya menyebutnya “poor listening comprehension” atau “difficulty following oral direction”
Pada anak-anak gifted ini sekalipun mengalami keterlambatan perkembangan bicara karena gangguan pada auditory processing, namun kondisi ini belum tentu kelaknya akan mengalami gangguan perkembangan kemampuan berbahasa dengan profil IQ verbal yang rendah (Rigo dkk, 1998). Begitu pula menurut Greenspan (1995, 1997) dalam pengamatannya, bahwa anak-anak ini setelah dewasa mampu menggunakan bahasa yang sangat luas dengan jumlah vokabulari yang besar. Seperti halnya yang dijelaskan oleh de Hoop & Janson (1999) bahwa anak-anak ini mempunyai pola tumbuh kembang sendiri, yang tidak sama dengan anak-anak pada umumnya. Pola tumbuh kembangnya dengan skala yang besar, waktunya singkat, tetapi tidak sinkron.
Sering menjadi pertanyaan, mengapa anak-anak terlambat bicara ini justru menjadi anak-anak gifted, sementara jika melihat berbagai literatur lama, keterlambatan bicara merupakan salah satu indikator keterbelakangan mental. Stanley I Greenspan dalam bukunya The Growth of the Mind (1997) dan The Challanging Child (1995) menjelaskan bahwa gangguan auditory processing akan menyebabkan gangguan pada short term memory yang mengatur inteligensia rendah atau low order thinking system yaitu kemampuan identifikasi dan mengenal kembali kata-kata yang dipelajari. Tingkatan inteligensia ini pula yang mengatur percakapan sehari-hari. Gangguan perkembangan short term memory ini kemudian akan menyebabkan gangguan perkembangan bahasa dan bicara. Sementara itu pada anak-anak ini justru terjadi perkembangan long term memory dengan sangat baik. Long term memory ini yang mengatur high order thinking system, yaitu pemahaman, sintesa, generalisasi, problem solving, dan kreativitas. Mel Levine seorang Profesor pediatrik dari University of North Carolina Medical School dan direktur Clinical Center for the Study of Development and Learning, dalam bukunya A Mind at Time (2002) banyak memaparkan kasus-kasus yang terjadi pada pasien-pasien bimbingannya yang merupakan penyandang visuo-spatial learner namun mengalami kesulitan membaca. Kesulitan membaca ini disebabkan karena anak-anak visuo-spatial learner ini selalu mempelajari kata-kata, tulisan dan huruf-huruf seperti halnya melihat logo-logo. Sehingga tidak heran bila anak-anak ini sangat menyukai merek-merek mobil dan logo-logo iklan. Gaya membaca logo ini menyebabkan kesulitan saat ia harus belajar di sekolah untuk belajar membaca dan mengeja yang harus menggunakan kemampuan skuensial (low order thingking system) . Gaya berfikirnya yang global dan simultan (gestalt) ini menyebabkan anak-anak ini mengalami kesulitan dalam pelajaran menghapal yang membutuhkan kemampuan skuensial. Jika anak-anak lain membutuhkan penekanan pada pelajaran-pelajaran yang membutuhkan kemampuan pemecahan masalah, justru anak-anak ini memerlukan bimbingan ekstra pada pelajaran menghapal. Kondisi seperti ini belum bisa dikelompokkan sebagai learning disabilities atau handycapped., karena sifat gangguannya sementara. Dengan bimbingan yang sesuai ia akan segera mengejar ketertinggalannya. Sedang learning disabilities merupakan gangguan yang disandangnya seumur hidup.
Peter Vermuelen, seorang orthopedagog yang menspesialisasikan diri pada autisme ber IQ tinggi dan bekerja pada Dinas Austisme Belgia, dalam bukunya Dialogica (2004) banyak menjelaskan tentang memori visual ini yang disebutnya sebagai memori fotografis, yaitu kemampuan seseorang yang mampu meregistrasi secara detil apa yang dilihatnya, dan menyimpannya dalam memorinya. Kedua kelompok Gifted visuo-spatial Learner dan autisme dengan IQ tinggi (Asperger) atau beberapa autisme klasik mempunyai kesamaan yaitu antara lain mempunyai kemampuan ini, namun terdapat beberapa perbedaan jika dilihat pada hasil karya gambar-gambar yang dihasilkan kedua kelompok tersebut. Dalam berbagai bukunya, Peter Vermuelen banyak mengkritik kekeliruan kesimpulan yang hanya melihat dari sisi kemampuan fotografis tersebut. Misalnya van Gogh atau Picasso seorang pelukis berbakat luar biasa yang kreatif sering diberitakan sebagai penyandang autisme. Atau sebaliknya Nadia seorang autis savant yang idiot namun mempunyai kemampuan memori fotografis dan mampu menuangkan dalam bentuk lukisan sekalipun terfiksasi pada figur kuda namun mempunyai kualitas yang sangat baik, oleh Howard Gardner (psikolog Amerika yang terkenal dengan konsep Multiple Intelligence yang di pasaran menimbulkan terjadinya miskonsepsi apa yang disebut dengan anak gifted dan membanjirnya konsep anak bertalenta) disebutnya sebagai the island of giftedness dan menyebut Nadia sebagai anak berbakat jenius, yang kemudian menimbulkan miskonsepsi bahwa seabnormalnya seseorang ia mempunyai bakat jenius. Kesimpulan ini menurut Vermuelen adalah kesimpulan yang keliru, karena pada gambar tersebut harus lagi dilihat beberapa aspek yang membedakan antara karya gambar seorang penyandang autis dan non-autis.
Di bawah ini identifikasi beberapa sisi kuat dan sisi lemah anak-anak Gifted Visuo-Spatial Learner menurut Linda Silverman (1998):
SISI KUAT SISI LEMAH
Sangat menyukai kompleksitas Lemah dalam memori auditory, tidak mampu meningat tiga langkah instruksi
System thinker Mengalami kesulitan dalam mengingat-ingat fakta (menghapal); kesulitan dalam subjek yang memanfaatkan hapalan misalnya pelajaran biologi, bahasa asing
Kemampuan abstraksi tinggi Kesulitan dengan materi yang mudah
Menyukai puzzel yang sulit Kesulitan dalam kalkulasi
Tajam dalam memori visual Kesulitan dalam mempelajari phonics
Kreatif, imajinatif Kesulitan dalam spelling
Mempunyai humor yang baik Kesulitan menemukan kata-kata
Lebih baik dalam hal matematika analisis daripada komputasi Mempunyai performa yang buruk atau tidak selalu dalam timed tests
Lebih baik dalam reading comprehension daripada decoding Mengalami kesulitan dalam mathematical facts
Lebih baik dalam geometeri daripada aljabar Tidak punya perhatian die kelas, dan mudah mengacau
Lebih baik dalam ilmu fisika daripada kimia Tidak terorganisasi, dan melupakan hal-hal yang detil
Sangat tertarik pada komputer, terutama program grafis Membenci drill dan pengulangan
Sangat senang menonton televisi Lupa pada pekerjaan rumah dan tugas-tugas sekolah
Menyukai musik Memasukkan tugas belakangan, pekerjaannya jorok, dan kualitasnya jelek
Tukang melamun – kaya akan fantasi Tulisan tangan jelek dan sulit dibaca
Seperti orang bodoh Impulsive, cenderung bereaksi dahulu dan berfikir kemudian
.
Beberapa waktu lalu, anak-anak gifted kelompok ini juga diberi istilah gifted with learning disability tetapi penelitian terakhir menunjukkan bahwa anak-anak gifted yang mengalami keterlambatan bicara sekalipun dengan deskrepansi IQ verbal dan performal IQ melebihi 10 point, namun kondisi ini belum tentu akan mengalami learning disabilities (Reuver, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rigo dkk (1998) terhadap kelompok low achievement gifted student (yang terdiri dari viuso-spatial gifted student) dan learning disabilities gifted student, menunjukkan bahwa memang keduanya mempunyai gangguan dalam auditory processing namun memiliki bentuk CAPD yang berbeda.
Gangguan CAPD ini dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut yang oleh Karin Nijenhuis (2003) dari UMC Radbout afd. KNO/audilogisch centrum, Nijmegen, disusunnya dalam buku kecilnya berjudul Kinderen met Luisterproblemen (anak-anak dengan gangguan pendengaran).
Gejala gangguan pengertian:
- si anak sering mengatakan: ‘huh’ atau “apa?”
- si anak tidak bisa mengerti dengan baik bila dilatarbelakangi dengan banyak bunyian (pada pesta, di lapangan sekolah, di kolam renang). Hal ini berlawanan dengan bila di situasi sepi, dimana anak itu dapat mengerti semuanya ;
- perintah mondeling sangat sulit difahami, terutama jika perintahnya panjang dan rumit ;
- seringkali juga mengalami salah pengertian : diskriminasi auditive-nya lemah ;
- anak tersebut memerlukan waktu lebih lama untuk mencari apa yang harus dikatakan karena itu juga membutuhkan pemberian pertanyaan berulang-ulang ;
- mengalami kesulitan untuk mempertahankan informasi mondeling (problem memori) ; informasi mondeling seringkali lebih cepat dilupakan ; tetapi informasi tulisan akan lebih baik diingatnya ;
- saat komunikasi dua arah, perhatiannya seringkali cepat kesasar ke tempat lain, misalnya di rumah saat makan bersama ;
- ia memberikan jawaban yang tak memadai terhadap pertanyaan yang diajukan padanya, jawaban seolah tak cocok dengan pertanyaan ;
- seringkali ucapan/perintah diabaikannya karena ia tak mampu menerima perintah itu ;
- reaksi terhadap ucapan atau pembicaraan sering berubah-ubah, kadang ia bereaksi secara pas, kadang tidak, tergantung dari moednya ;
- seringkali ia memberikan jawaban sebelum pertanyaan yang rumit selesai, karena itu ia sering salah menjawab atau kehilangan jawaban pada bagian akhir pertanyaan ;
- perintah mondeling lebih buruk hasilnya daripada perintah tertulis, anak-anak ini lebih kearah visual daripada auditif;
- jika informasi/perintah diberikan selintasan saja, maka informasi/perintah itu akan buruk diterimanya.
Hal-hal yang mungkin terjadi dalam tumbuh kembang (Nijenhuis, 2003)
- gangguan perkembangan bahasa dan bicara;
- gangguan belajar (learning disable) terutama pada pelajaran membaca, menulis, dan spelling;
- sekalipun anak-anak ini akan mempunyai inteligensia tinggi (anak ini akan sangat pandai) seringkali mempunyai prestasi yang jelek di sekolah;
- mengalami kesulitan dalam kurikulum klasik;
- mempunyai pemusatan perhatian yang rendah, cepat lelah dalam pelajaran yang menggunakan mondeling lama dan kompleks;
- ia merasa sangat lelah sepulang sekolah ;
- mudah beralih perhatian terhadap bunyian dan berbagai kejadian di sekitarnya ;
- pemahaman terhadap waktu sangat buruk berkembang : mengalami kesulitan mengulang secara kronologis urutan kejadian, dan mengulangi cerita suatu dongeng ;
- tak bisa turut bekerjasama dengan kelompok yang ribut, karenanya kemampuan sosialnya kurang baik berkembang ;
Untuk identifikasi gifted visuo-spatial yang mengalami CAPD ini, Lesley Sword (2002) dari Gifted Center NSW Australia memberikan beberapa patokan, yaitu jika ditemukan tanda-tanda berikut di bawah ini. Tanda-tanda ini digunakan hanya untuk idetifikasi dan selanjutnya diperlukan pemeriksaan oleh psikolog yang mendalami psikologi anak gifted.
1. WISC-III menunjukkan indikator :
• adanya scater dari skor subtes IQ
• umumnya skor IQ performal lebih tinggi daripada skor IQ verbal
• umumnya mempunyai skor yang tinggi pada tes Block Design, Object Assemby dan Similarities
2. Mempunyai riwayat : infeksi telinga, alergi, asma, eksim, tonsillitis, sinusitis hingga
lima tahun pertama.
3. Mempunyai riwayat conductive hearing loss di usia dini
4. Tidak punya perhatian yang baik dan kacau
5. Mempunyai kepekaan waktu yang kurang atau buruk dalam tes waktu.
6. Mempunyai short term memory yang buruk tetapi mempunyai long term memory yang baik
7. Sulit menyelesaikan tugas sekolah dan pekerjaan rumah.
8. Tulisan tangan jelek atau sulit menulis tetap di atas garis, sulit memegang pinsil dengan baik terlalu kuat menekan atau terlalu halus saat menulis
9. Mempunyai kemampuan mendengar yang jelek, kadang nampak seperti tuli
10. Tidak mempertahankan kontak mata.
11. Mempunyai kesulitan dalam spelling dan membaca
12. Mempunyai kesulitan dalam perkalian dan komputasi
13. Menyukai ide-ide yang kompleks, sering gagal dalam tugas yang mudah
14. Bisa membaca dengan suara perlahan dan kesulitan membaca dengan suara keras.
15. Tidak bisa duduk diam, mempunyai energy yang tak pernah habis, dan selalu gelisah.
16. Sangat kreatif
17. Mempunyai perasaan humor yang baik (kadang dengan cara yang berbeda)
18. Secara emosional sangat sensitif
19. Sangat sensitif terhadap kritik
20. Secara fisik sangat sensitif misalnya terhadap suara dan kegaduhan, cahaya.
21. Menyukai lego, puzzel, jigsaws, computer games, televisi, dan mengkreasi sesuatu
22. Sangat tidak terorganisasi
23. Menyukai seni/musik
24. Mempunyai imajinasi yang hidup dan impian-impian
25. Sangat ingat jalan-jalan walaupun hanya satu kali liwat.
6. GIFTED WITH LEARNING DISABILITIES (Gifted/LD)
Istilah Learning Disabilities (gangguan belajar) hanya diberikan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia normal sampai tinggi, untuk anak-anak dengan inteligensia rendah disebut multihandicap (Crealock & Kronick, 1993). Istilah ini digunakan bagi anak-anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), atau berhitung (diskalkulia). Namun bentuk, seberapa tingkat keparahan, batasan, dan etiologinya, berbagai gangguan ikutan lainnya yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan belajar, hal ini semua masih menjadi bahan perdebatan, sehingga sampai saat ini prevalensi yang dilaporkan untuk berbagai negara bagian di Amerika, ataupun di berbagai negara, mempunyai angka dengan range sangat besar. Ada yang melaporkan 3 persen ada pula yang melaporkan 20 persen, bahkan 50 persen (Lloyd dkk, 1997). Hal ini dapat dimengerti karena gangguan LD juga akan menyangkut gangguan kemampuan bahasa yang dipengaruhi oleh sistem tata bahasa suatu kelompok atau bangsa. Dengan begitu alat ukur untuk melakukan tes apakah seorang anak menyandang gangguan belajar untuk suatu negara, tidak bisa menggunakan alat ukur yang dipakai oleh negara lain. Disamping itu masih terdapat berbagai pendapat, kapan usia seorang anak dapat dikatakan sebagai anak penyandang LD. Namun banyak yang sepakat bahwa seorang anak dapat dikatakan menyandang LD jika ia sudah berusia masuk sekolah dasar dan terjadi adanya deskrepansi yang siknifikan antara kinerja dan potensi inteligensia. Crealock & Kroniek (1993) menjelaskan bahwa kondisi LD ini bukan merupakan kondisi tidak normal, tetapi merupakan kondisi seseorang yang hampir normal, karena terganggunya satu atau lebih area inteligensia yang menyebabkan terganggunya fungsi belajar seseorang.
Untuk mengetahui seorang anak menyandang LD diperlukan berbagai tes, namun sayangnya di Indonesia ilmu anak-anak dengan gangguan belajar ini belum populer, begitu juga alat ukurnya belum ada, untuk mengetahui apakah seorang anak penyandang LD, bagaimana bentuk, dan keparahan gangguan, yang kesemuanya diperlukan untuk menentukan strategi menanganinya.
Terlebih lagi, pada anak-anak gifted ini sangat sulit diketahui jika ia menyandang gangguan ini, karena inteligensianya dapat digunakannya untuk menutupi kekurangannya. Ia mampu membangun strategi sendiri, sehingga gangguannya sulit dikenali, dan guru sering tidak menyadari bahwa muridnya adalah anak gifted yang menyandang gangguan belajar (Alja de Bruin-de Boer, 2002).
Pengalaman dari kelompok kami, anak-anak ini mengalami kesulitan membaca di awal sekolah dasar saat ia harus belajar membaca mengeja, namun apabila saat ini bisa dilalui dengan baik, dengan bimbingan menggunakan metoda visual, kesulitan segera dapat diatasi. Namun tidak bagi anggota baru yang anak-anaknya terdeteksi bahwa ia kemungkinan mempunyai keberbakatan setelah berusia di atas 8 tahun, kesulitan ini semakin sulit diatasi karena telah membawa akibat pada masalah lainnya, seperti misalnya berkembangnya konsep diri negatip, faalangst negatip (merasa tidak bisa yang sebenarnya bisa), perkembangan motorik halus yang tidak terarah dimana kordinasi tangan dan jari-jari tidak baik, lateralisasi tidak baik, tidak jelas tangan kiri atau kanan yang kuat, terjadi gangguan pemrograman motorik, tidak terlatih melakukan abstraksi oral dan dalam bentuk tulisan, jatuh dalam pelajaran Agama, PKKn, dan bahasa, mempunyai angka yang jelek dalam pelajaran berhitung mekanis (hapalan), akhirnya dianggap tidak cerdas, tidak naik kelas, dan atau dikeluarkan dari sekolah. Dalam pelajaran berhitung analisis umumnya mendapatkan angka baik, namun tidak demikian dengan berhitung mekanis (hapalan), padahal sementara itu di kelas-kelas awal sekolah dasar anak-anak lebih banyak menerima pelajaran hapalan. Tulisan yang jelek, yang disebabkan karena lemahnya motorik halus, tidak tertangani dengan baik, namun dihukum menulis berlembar-lembar yang menyebabkan kefrustrasian,dan tertekan karena tidak tahan pada rutinitas.
Anak-anak ini sering diberi istilah twice exceptional gifted (gifted dengan keistimewaan ganda) karena masalah giftedness saja sudah membawanya memiliki masalah tersendiri ditambah lagi masalah dalam gangguan belajar. Kadang kita juga menemui dengan istilah unidentified gifted students, sebab anak-anak ini seringkali bukan saja hanya menyandang masalah gangguan belajar, namun juga diikuti dengan masalah gangguan perilaku dan emosional turbulensi sehingga abilities yang dimilikinya tidak teridentifikasi.
Berbagai literatur lama sering menjelaskan bahwa keadaan learning disabilities ini karena adanya deskrepansi yang besar antara verbal IQ dengan performal IQ ( di atas 10 point). Namun berbagai penelitian terakhir dapat diketahui bahwa keadaan ini belum tentu menyebabkan seseorang akan mengalami learning disablities.
Baum (1990) membagi anak-anak gifted/LD ini menjadi tiga kelompok, yaitu:
1) anak-anak yang teridentifikasi sebagai anak gifted tetapi juga mempunyai LD
2) anak-anak yang tidak teridentifikasi sebagai anak gifted karena tertutupi oleh prestasinya yang sedang-sedang saja
3) anak yang teridentifikasi sebagai anak dengan LD tetapi juga sebagai anak gifted
Selanjutnya Baum (1990) menjelaskan beberapa ciri anak-anak gifted/LD:
1) Kelompok gifted yang mempunyai LD.
Kelompok ini mudah dikenali karena mempunyai prestasi yang baik dan skor IQ total yang tinggi. Saat kelompok ini menanjak besar deskrepansi antara performa yang diharapkan dan yang aktual akan semakin melebar. Anak-anak ini dapat mempesona gurunya karena mempunyai kemampuan verbal yang sangat baik, sedang ejaan dan karya tulisnya berkebalikan dengan image-nya. Kadang ia sangat pelupa, jorok, dan tidak terorganisasi. Di sekolah lanjutan dimana lebih banyak dituntut pengerjaan tugas-tugas dengan menulis yang panjang, penggunaan bahasa yang lebih luas, membaca mandiri, mereka segera akan mendapatkan kesulitan. Kesuksesan akan dicapai dengan kerja yang sangat keras. Jika dibutuhkan usaha yang lebih keras, ia akan tidak tahu lagi bagaimana harus mengerjakan hal hal yang mudah
2) Unidentified student
Anak-anak ini sering tidak naik kelas. Kemampuan intelektualnya hanya hilang begitu saja karena ia harus mengkompensasi kelemahannya, karena masalah gangguan belajarnya tidak teridentifikasi. Dengan kata lain, gangguan belajarnya menutupi kemampuannya, sedang kemampuannya untuk menutupi kelemahannya. Anak-anak ini justru sulit diidentifikasi karena perilakunya baik, tidak menuntut perhatian guru.
3) Teridentifikasi sebagai anak LD tetapi memiliki giftedness
Anak-anak ini teridentifikasi karena ia tidak mampu mengerjakan tugas, bukan karena ia mampu menunjukkan talentanya. Kelompok ini merupakan anak yang mempunyai risiko salah terinterpretasi, karena guru dan orang tua lebih terfokus pada permasalahannya. Yang menarik, anak-anak ini mempunyai tingkat pretasi yang tinggi di rumah, kemampuan intelektual dan kreativitasnya disalurkannya ke hobbynya. Karena anak-anak ini sangat cerdas dan sensitive, maka mereka semakin sadar akan kesulitannya dalam belajar. Selanjutnya, mereka sering menggeneralisasi kegagalan akademiknya kepada seluruh aspek. Perasaan pesimisnya ditutupinya denga perasaan positif yang didapatkannya di rumah. Di sekolah sering dianggap sebagai pengacau, tidak menyelesaikan tugas, ‘ngeloyor’, pelamun, atau mengeluh sakit kepala dan sakit perut; mereka juga mudah frustrasi dan menggunakan kreativitasnya untuk menghindari tugas.
7. AUTISME ATAU GIFTED ?
Peter Vermuelen, yang banyak menulis buku dan artikel serta melakukan penelitian tentang autisme terutama autisme high function dan Asperger, dalam karya-karyanya itu ia selalu mengkritik berbagai kesalahan diagnosa yang diberikan pada anak-anak autisme. Ia menggambarkan diantara anak-anak bimbingannya itu banyak yang mendapatkan berbagai diagnosa yang berganti-ganti dari berbagai diagnotician yang berbeda. Hal ini disebabkan karena para diagnotician melihat seorang anak hanya dari sisi ilmu yang menjadi spesialisasinya saja. Sehingga tidak heran jika seorang anak autisme bisa terdeteksi sebagai anak gifted, atau anak bergangguan perilaku, atau mental. Terlebih anak autisme yang mempunyai IQ tinggi, yaitu anak-anak Asperger, dimana kecerdasannya itu dapat digunakannya untuk menutupi kekurangannya. Anak-anak Asperger ini umumnya saat kecilnya disangka anak-anak gifted atau anak cerdas. Namun lambat laun saat memasuki sekolah dasar, kesulitan mulai terasa, yaitu sulitnya membangun relasi yang baik dengan teman sebaya, kesulitan dalam fantasi, imajinasi, dan kreativitas, serta mempunyai bidang minatan yang sangat terbatas. Umumnya mereka terdiagnosa sebagai autisme Asperger sangat terlambat, karena mereka mempunyai perkembangan bahasa dan bicara yang justru sangat baik. Karena itu Vermuelen menyebut individu ini sebagai: “Als autisme niet op autisme lijk” atau “Jika autisme tidak seperti autisme” (Vermuelen, 1999).
Sebaliknya pengalaman yang banyak terjadi pada anak-anak anggota kami di Indonesia adalah justru anak-anak ini anak terlambat bicara, saat ia masih balita selalu menerima diagnosa autisme ringan, autisme agak berat, atau ASD, dan saat ia sudah bersekolah, mempunyai prestasi di sekolah, atau terlihat pandai walau tidak berprestasi, dokter akan mengatakan: sekarang sudah menjadi Asperger.
Diantara anak-anak ini saat usia sangat dini, dua atau tiga tahun, sudah bisa menulis, membaca, dan menggambar, karena ia terlambat bicara dan sudah terlihat pandai, maka ia langsung menerima diagnosa asperger.
Dalam suatu diskusi dengan para orang tua di Surabaya Juli 2003, seorang ibu menceritakan tentang anaknya, bahwa anaknya telah duduk di kelas lima sekolah dasar, usia 10 tahun, berprestasi di semua mata ajaran. Terlambat bicara, dan saat ini sikapnya di sekolah menarik diri tetapi dirasa tidak mempunyai masalah perilaku. Sejak usia 2 tahun mendapatkan diagnosa Aspeger. Saat duduk di kelas 5 itu, karena perilakunya menarik diri dengan diagnosa Asperger, atas anjuran fihak profesional dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan darah, rambut, dan urine, serta upaya detoksifikasi.
Pengalaman yang dilalui oleh kelompok kami adalah anak-anaknya sangat menyukai televisi dan mobil beserta rodanya yang dapat diputar yang baginya sangat menawan hati. Karena anak-anak ini awalnya mendapat diagnosa ASD, maka kedua kegiatan ini jelas harus disingkirkan, dengan alasan merupakan kegiatan yang terfiksasi sebagai ciri autisme. Banyak dari para orang tua menyembunyikan berbagai mainan yang dapat diputar-putar termasuk mobilan beroda. Berkebalikan dengan strategi stimulasi anak berbakat, kesenangan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kreativitas dan fantasi. Televisi, video, komputer dengan CD ROM interaktif dapat digunakan untuk memberinya pelajaran , serta meningkatkan kreativitas dengan membuat disain kota yang bisa diliwati dengan mobil. Anak-anak ini senang sekali melakukan uji coba, melakukan kegiatan berulang-ulang sebagai upaya trial and error, namun sering terinterpretasi sebagai perilaku repetitif autisme dan harus disingkirkan.
Kraijer (2003) dalam penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa semakin rendah inteligensia penyandang autisme, menunjukkan perilaku yang lebih repetitif, dan perilaku repetitif ini berlangsung secara terus menerus, tanpa tujuan, serta disandang seumur hidup.
Laporan dari Young dkk (2003) bahwa sebetulnya pada autisme klasik, gejala autisme sudah dapat diketahui sejak usia 7 bulan, namun para orang tua baru menyadari bahwa anaknya mengalami gangguan perkembangan autisme saat berusia agak lebih besar yaitu menyadari anaknya mengalami perkembangan bahasa yang terlambat.
Banyak diantara anggota kami menyadari bahwa anak-anaknya mengalami kemunduran bicara. Saat usia satu tahun anaknya telah mampu mengucapkan beberapa kata, namun setelah di atas usia dua tahun dirasa tidak ada kemajuan, bahkan muncullah bahasa planet dan sulit dimengerti. Keadaan inilah yang sering melibatkan anaknya pada diagnosa autisme, dengan asumsi adanya regresi perkembangan yang biasa terjadi pada anak-anak autisme.
Mönks dalam bukunya Ontwikkelings Psychologie (1999), menjelaskan bahwa pada anak-anak diusia 18 bulan seorang anak akan mulai melakukan eksplorasi dan observasi (pencanderaan melalui mata).
Pada anak-anak visual learner ini terjadi intensitas pencanderaan yang tinggi (skala besar), dan terjadi gangguan pada processing informasi melalui telinga. Gangguan fungsi terjadi pada bagian sistem syaraf pusat yaitu dibagian Premotor Area (PMA).
Defisit dalam kreativitas menyebabkan individu autis mengalami gangguan dalam fleksibilitas, karena kreativitas akan pula menghasilkan kemampuan fleksibilitas, kemampuan analisis, dan berbahasa simbolik. Sifatnya kemudian hanya meregistrasi (dalam memori visual atau auditif) apa yang didengar, atau dilihatnya. Kemampuan autisme seperti ini sering kita baca sebagai kemampuan yang peace by peace dalam melihat berbagai fenomena di dunia. Defisit dalam kemampuan simbolik (komunikasi nonverbal) akan membawanya kesulitan dalam hubungan sosial, membaca gelagat, deficit dalam imajinasi dan terfiksasi dalam bidang minatan. Ia akan melihat dunia dengan caranya, yaitu sangat harafiah (Vermuelen, 1999, 2002, 2004).
Diagnosa yang sering tertukar satu dengan lainnya, adalah antara autis savant, asperger, dan gifted.
Autis Savant
Adalah bentuk autisme klasik (infantil) Kanner dengan defisit inteligensia yang sangat luas dan parah atau idiot, karena itu sering pula disebut idiot-savant. Diperkirakan autis Savant ini berjumlah 10 persen dari populasi autisme klasik yang mental retarded. Berbagai catatan epidemiologi, prevalensi autisme klasik ini adalah 4 dari 10.000 anak yang lahir. Sekitar 70 persennya mengalami mental retarded. Sekalipun autisme savant ini mengalami gangguan perkembangan verbal yang sangat parah, namun beberapa bagian dari kemampuan performalnya sangat baik. Dalam tes menggunakan Wechsler Intelligence Scale menunjukkan bahwa para autis savant ini dalam tes inteligensia performalnya mempunyai skor yang istimewa pada tes Block Design dan Object Assembly. Diantaranya juga ada yang mempunyai visual memory yang istimewa (Cox & Eames, 1999)
Oliver Sack (1995) menggambarkan seorang savant sebagai individu yang paradox, yaitu memiliki gangguan inteligensia yang parah namun juga memiliki talenta yang luar biasa. Individu savant ini ada yang mempunyai talenta melukis, musik, atau mnemonist (bermain perkalian berdigit digit tanpa kalkulator sebagaimana halnya figur autis savant dalam film Rain Man yang dimainkan oleh Dustin Hoffman).
Gambar di bawah ini (Gambar 2) menggambarkan Wechsler profil savant (BX) yang menunjukkan tinggi dalam subtes Block Design (visual abstrack ability) dan Digit Span ( short term auditory memory for non- meaningful information) namun mengalami defisit dalam berbagai subtest lainnya.
Gambar 2. Sumber : Cox & Eames (1999), Sage Pub & Autistic Society.
Catatan
Verbal: Information - fund of general knowledge
Similarities - verbal abstract reasoning
Arithmatic - numerical reasoning, attention and short-term memory for
meaningful information
Vocabulary - knowledge of word meanings
Comprehension - social comrehension and judgment
Digit Span - short term auditory memory for non- meaningful information
Performal:
Picture Completion - attention to visual detail
Coding – visual – motor skill, processing speed
Picture arrangement – attention to visual detail, seqientila reasoning
Block Design – visual abstract ability
Object Assemby – part – whole reasoning
Mazes – graphomotor planning, visual – motor coordination and speed
BX adalah seorang savant yang lahir tanpa komplikasi, walau begitu ia mempunyai perkembangan bicara yang buruk, yang menyebabkan orang tuanya prihatin. Mendapat diagnosa autism saat berusia 4 tahun. Diagnosa berdasarkan klasifikasi kriteria WHO (1978). Ia mengalami epilepsy, konsentrasi buruk, serta gangguan motorik kasar berupa clumsy dan gangguan kordinasi. Kemampuan menggambarnya tiba-tiba muncul diusianya yang ke 15 tahun 6 bulan tanpa melakukan latihan praktek. Ia menggambar dari apa yang ada di memorinya tentang jembatan kereta api dan jalan raya yang sangat perspektif. Tes tadi di atas saat ia berusia 19 tahun 6 bulan.
Berbeda dengan Nadia autis savant yang mempunyai talenta, kemampuan menggambarnya muncul di usia 3 tahun saat mana ia belum mampu berbicara, namun saat ia sudah mampu berbicara kemampuan menggambar ini menghilang. Cara autis savant mengekspresikan kemampuan memori fotografisnya adalah dengan cara melakukan registrasi apa yang dilhatnya dengan mata dengan cara sangat detil yang oleh Vermulen (2004) disebutnya sebagai visual realism. Selanjutnya Vermuelen (2004) menjelaskan bahwa hal yang membedakan antara para autis yang mempunyai memori fotografis dengan anak-anak non-autis yang juga mempunyai kemampuan fotografis adalah pada anak-anak autis savant ini apa yang digambarkannya merupakan hasil registrasi yang dilihatnya tanpa memberinya makna maupun kreasi lainnya. Gambarnya akan lompat langsung pada stadium lanjut berupa gambar tiga dimensi, tanpa adanya tambahan kreasi dan fantasi. Seperti misalnya gambar yang dibuat Nadia. Vermeulen memberi perumpamaan bahwa jika seorang anak autis menggambar sebuah bangku, ia tidak tahu lagi apakah itu bangku taman atau bangku malas untuk di taman. Pada anak-anak non-autis yang mempunyai memori fotografis, gambar-gambar yang dibuatnya bukan saja sangat detil dan persfekstif, namun juga akan kaya dengan fantasi. Anak autis akan melihat dunia bagai suatu benda-benda berjajar runtut bagai garis, bukan merupakan pengertian yang mempunyai makna tertentu, namun merupakan pengertian yang realistis yang kemudian dicurahkannya dalam bentuk gambar. Pemahaman Nadia bukan merupakan pemahaman konseptual tetapi pemahaman yang perseptual. Hal ini merupakan kekosongan dalam kemampuan pemahaman yang kemudian menyebabkan Nadia mampu mencatat apa yang dilihatnya secara eksak. Nadia tidak “melihat” kuda-kuda yang selalu digambarnya. Talenta menggambar anak-anak autis ini tidak “tertular” oleh penggunaan “pengenalan dan penamaan” sebagaimana yang dilakukan oleh anak-anak normal. Misalnya seorang anak non-autistik ditanya untuk menggambar seekor kuda ia akan “berfikir”seekor kuda (dengan kata lain disebut skema kognitif, atau prototype dari seekor kuda yang keluar dari memorinya) lalu ia akan menggambar apa yang ia fikirkan. Sedang Nadia segera mengingat kembali apa yang pernah ia lihat dan ia akan gambarkan.
Sekalipun sulit melakukan tes terhadap Nadia, namun bisa nampak dengan cara melakukan pengamatan terhadap berbagai benda yang dilihatnya dan disajikannya dalam bentuk gambar, yang menunjukkan sesuatu bukan berdasarkan pemahaman makna tentang apa yang dilihatnya.
Akan berbeda pula dengan gambar anak-anak non-memori fotografis, gambar yang dibuatnya tidak merupakan langsung berupa gambar tiga dimensi, namun dimensinya secara perlahan berkembang satu persatu dimulai dari gambar-gambar sederhana.
ASPERGER
Asperger adalah bentuk autisme dalam eselon yang paling tinggi. Umumnya terdeteksi sangat terlambat, setelah agak besar di sekolah karena banyak masalah dalam pelajaran, bahkan sering juga terdeteksi saat sudah mempunyai pasangan, dimana terjadi relasi yang sulit antara suami istri dalam relasi seksual, dimana para asperger ini dalam relasi seksual kurang menampilkan relasi yang hangat dan hubungan seksual berlangsung sangat “mekanistis” (Emmen, 2003). Istilah Asperger digunakan untuk menghormati dokter anak Hans Asperger di tahun 1940-an dari Austria yang melaporkan pasien-pasiennya yang pandai tetapi psychopath yang disebutnya sebagai anak-anak autis.
Akhir-akhir ini mulai banyak lagi dilakukan penelitian tentang Asperger ini, bukan saja karena problemnya semakin jelas tetapi juga anak-anak normal yang mempunyai syndrom seperti Asperger, perbedaannya kurang jelas (Hupkens, 2002).
Profil Weschler tes di bawah ini (Gambar 3) dikerjakan oleh Peter Vemuelen dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor dalam bidang orthopedagogi di Universitas Leiden, dengan judul: Beter vroeg dan laat en better laat dan nooit. De onderkenning van autisme bij normaal tot begaafde personen (2002). Peter Vermuelen membandingkan dua kelompok anak-anak autisme yang terdeteksi dini dan terdeteksi terlambat dengan inteligensia normal sampai tinggi.
Pada anak-anak yang cepat terdiagnosa menunjukkan mempunyai inteligensia yang lebih rendah daripada yang terdeteksi lambat. Di usia setengah tahun umumnya orang tuanya telah melihat bahwa ada sesuatu yang tak beres pada perkembangan anak yaitu perkembangannya sangat lambat. Di usia saat mana anak-anak sudah mulai berbicara namun anak-anak mereka tidak, hal inilah yang menyebabkan lebih cepatnya deteksi. Sementara pada anak-anak yang lebih lambat terdeteksi sebagai penyandang autisme umumnya para orang tua pergi mencari pengobatan karena adanya gangguan fisik terutama infeksi telinga. Pada awal-awal sekolah anak-anak ini juga dapat mengikuti sekolah dengan baik. Namun semakin anak-anak ini besar terjadi berbagai masalah di sekolah, peledakan, agresi, dan gangguan kontak sosial. Saat-saat inilah baru diketahui bahwa anak-anak ini adalah penyandang autisme, karena gejala autisme yang ditampilkannya sangat samar-samar.
Gambar 3
Profil tes psikologi dilakukan oleh Centrum voor Begaafheids Onderzoek Universitas Nijmegen Belanda terhadap Johan saat berusia 5 tahun, dengan diagnosa Gifted, sekalipun mempunyai ada gejala autisme namun bukan berarti bahwa ia adalah penyandang autisme karena dalam hal ini gangguan perkembangan sosial emosionalnya disebabkan karena ketertinggalan perkembangan bahasa dan bicara. Dalam profil tersebut nampak bahwa skor performal IQ lebih tinggi daripada skor IQ verbal. Jika dibandingkan dengan dua profil autisme di atas maka sekalipun sama-sama adanya deskrepansi pada skor verbal IQ dan performal IQ (v/P) namun dalam berbagai subtes performal terdapat perbedaan yang menyolok. Dalam tes ini ia memperoleh skor di atas rata-rata usia sebayanya, dan sangat tinggi dalam subtes GF (geometrische figuran) yang merupakan tes untuk melihat kemampuan motorik halus dan kemampuan observasi, subtes BP (blokpatronen) untuk melihat kemampuan analitik-sintetik. Dalam tes BP ini ia menggunakan strategi mula-mula melihat baru dikerjakan. Disamping subtes di atas ia juga memperoleh skor tinggi pada OT (onvolledige tekeningen) yaitu untuk melihat part-whole reasoning. Dalam tes verbal ia menunjukkan kemampuan O (overeenkomsten) atau similarities lebih tinggi daripada subtes lainnya dan sesuai dengan usianya. Subtes ini menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan berbahasa secara pasif.
Beberapa perbedaan antara asperger syndrom dan gifted dapat digambarkan sebagai berikut (Burger-Veltmeijer, 2003):
Hal-hal yang sama Perbedaan kwalitas
Inteligentia tinggi/gifted Syndroma Asperger
Kuat dalam verbal Cara berfikir yang logis, penyampaian pemikiran benar , penggunaan bahasa orijinal, bukan mengkopi Echolalia, melakukan kopi dari bahasa buku, cara berfikir seolah logis namun hasil akhir penyampaian pemikiran tidak benar
Penggunaan bahasa yang sangat cepat Perkembangan bahasa dan bicara yang cepat, maju lebih cepat daripada teman sebaya, karenanya nampak ia berbahasa macam orang tua Berbahasa kanak-kanak dan cara penggunaan bahasa yang selalu sama berulang ulang , kadang monoton, seperti orang membaca, into
nasi aneh
Kemampuan pemaknaan bahasa yang tinggi Penggunaan bahasa baik secara harafiah maupun kiasan mempunyai rasa berbahasa yang baik Penggunaan bahasa sangat harafiah, kesulitan dengan penggunaan bahasa kiasan, tidak mampu merasakan penggunaan bahasa sinis dan dan simbolik
Pengetahuan luas, banyak mengerti berbagai hal, ingatan tajam Baik detil maupun global sangat baik, mampu memegang benang merah dengan baik, mampu melihat permasalahan inti maupun umum Hanya menjurus pada hal-hal detil, selalu bicara panjang lebar tentang hal-hal yang tak penting, sangat minim dalam kemampuan global, berfikir secara fragmentasi
Berkemampuan baik dengan persoalan tertentu Mempunyai bidang minatan yang luas, luas dan dalam, pengetahuan luas dalam bidang yang diminatinya, merasa terdorong untuk mendalaminya Minatan terbatas, hanya tertarik pada bidang minatannya misalnya tentang reptilia, catur, atau tatasurya
Berfikir egosentris Berkemampuan melihat permasalahan yang baik menyebabkan ia mempunyai pengetahuan luas tetapi seringkali lupa bahwa ia bisa juga salah Kesulitan meletakkan diri terhadap perasaan dan fikiran orang lain
Merasa kesepian dan kesendirian Perkembangannya tidak selaras dengan teman sebaya, tidak bisa dimengerti Tidak bisa meletakkan dasar-dasar kontak sosial, tidak ada relasi sosial
Gangguan motorik Gangguan motorik lebih disebabkan karena cara berfikirnya (tidak selalu),faalangst Gerakan stereotip, sikap tubuh yang aneh
Komunikasi lemah Selalu berfikir, tak terorganisir, pelupa Kekurangan komunikasi non-verbal (simbolik), kesulitan membaca bahasa mimik dan bahasa tubuh, mampu berbicara tapi tidak komunikatif
Perkembangan rasa takut dan depresi Perasaan takut gagal, berfikir terlalu ke arah negatif dan berlebihan. Rasa takut terhadap hal-hal yang tidak bisa diramalkan dan tak dikenalnya, atau karena fantasi yang terlalu berlebihan
Sumber: Talent, Maart 2003
CONTOH GAMBAR YANG DIBUAT ANAK-ANAK GIFTED TERLAMBAT BICARA
Gambar 5 Gambar 6
Vader, oleh Johan, terlambat Swan, oleh Johan,
bicara, gifted, (3 tahun) terlambat bicara, gifted, (4 tahun)
Gambar 5 dan 6 dibuat saat Johan berusia 3 tahun dan 4 tahun. Gambar-gambar tersebut langsung lompat pada stadium lanjut tanpa melalui suatu latihan tahap pertahap. Gambarnya merupakan gambar yang detil dan tiga dimensi, digambar dari apa yang dilihatnya. Atau berupa realisme dari memori fotografisnya. Berbeda dengan gambar anak-anak autis yang umumnya terfiksasi pada satu objek, yang terjadi pada Johan adalah ia membuat gambar berbagai objek binatang, manusia, mobil, kereta api, jalan raya, pesawat terbang, dan sebagainya.
Gambar 7 Gambar 8
Botsen tegen elkaar, oleh Johan, Astronot di bulan, oleh Langit
terlambat bicara, gifted, (6 tahun). terlambat bicara, gifted (6 tahun)
Gambar 7 dan 8 menunjukkan bukanlah realita yang sebenarnya namun keluar dari fantasi atau imajinasi yang dikembangkan oleh Johan dan Langit saat mereka sama-sama berusia 6 tahun. Saat membuat gambar tersebut Johan bercerita bahwa semua dapat mati kapan saja, dan usia kapan saja, tua muda laki perempuan, manusia maupun binatang. Ia mengumpamakan hal ini bisa terjadi dalam bencana tabrakan beruntun. Sedang Langit yang pernah mendapatkan diagnosa berganti-ganti (ADHD dengan terlambat bicara, dan terakhir sotos syndrom) serta tidak mendapatkan sekolah sehingga hanya melakukan kegiatan di rumah terapi autisme dengan anjuran berbagai terapi untuk anak-anak autisme. Langit sangat produktif dengan gambar-gambarnya dengan objek yang luas dan beragam.
Gambar 9 Gambar 10
Para Cewek Check Out Counter
oleh Jasmine, terlambat bicara, gifted (4 thn) oleh Jasmine, gifted, terlambat bicara,(5 th)
Gambar diatas (9 & 10) dibuat oleh Jasmine yang terlambat bicara, perfeksionis, banyak gerak, tetapi sejak dini sudah mampu menggambar dengan berbagai cerita. Jasmine sangat produktif, dan setelah mampu berbicara, ia berbicara terus menerus tanpa henti. Terdeteksi gifted oleh guru taman kanak-kanaknya dan segera menerima enrichment.
Gambar 11
Toko Abi, dibuat oleh Abi (7 th), Jakarta. Abi mendapat diagnosa Asperger tetapi mempunyai kreativitas tinggi, dan kepekaan humor yang baik, kemampuan pemecahan masalah, dan imajinasi yang baik. Diagnosa masih dipertanyakan.
Gambar di atas ( 11) dibuat oleh Abi yang mempunyai ingatan luar biasa terhadap berbagai kejadian secara lengkap apa yang telah dilaluinya sekalipun saat ia masih berusia 4 tahun, saat kecil selalu marah jika melalui jalan lain. Mengalami kesulitan pelajaran di sekolah, orang tua melihat bahwa prestasi di sekolah tidak sesuai dengan kepandaian yang dimilikinya. Pengetahuannya luas dan mempunyai bidang minatan yang luas.
GAMBAR ANAK ANAK AUTISME
Gambar 12
Gambar-gambar oleh Nadia saat 5 tahun, autist savant.
Sumber, Vermuelen (2004)
Gambar 13
Karya gambar anak autist
( sumber: Vermuelen, 2004)
Banyak laporan bahwa anak-anak visual learner termasuk juga anak-anak gifted dan anak-anak autis sangat menyukai peta bumi dan peta kota. Mereka sangat menyukai “ruang” dan akan sangat hapal jalan-jalan yang telah dilaluinya. Kesukaan yang sama terhadap peta dan jalan raya ini sering menyebabkan juga anak-anak gifted yang visual learner terdiagnosa sebagai anak autis.
Gambar 14
Karya gambar Kees Momma, autisme klasik, high function (sumber, Kees Momma, 1998)
Kees Momma adalah seorang penyandang autisme Belanda yang sangat terkenal karena karya-karyanya yang luar biasa. Ia penyandang autis klasik high function dengan inteligensia normal, mampu menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan dan bekerja di kantor balai kota di bagian arsip. Ia mampu menerbitkan 2 buah buku tentang dirinya sebagai penyandang autisme. Karya-karya gambarnya sering diikut sertakan dalam berbagai pameran lukisan. Sesuatu yang sangat khas, sebagaimana gambar-gambar penyandang autis adalah, gambarnya merupakan visual realism, sesuai seperti apa yang dilihatnya, dan tidak pernah ada manusia atapun binatang, sekalipun yang digambar adalah hiruk pikuk kota penuh mobil.
8. PENUTUP dan BERBAGAI HARAPAN
1. Semakin populernya DSM IV/ICD-10 saat ini, sementara perbaikan sistem kriteria autisme yang baru masih akan memakan waktu lama, yang masih memungkinkan terlibatnya anak-anak gifted dalam diagnosa yang tidak menguntungkan baginya, guna kepentingan pengasuhan dan pendidikan sebagai bekal masa depan anak-anak gifted kelompok yang mengalami perkembangan tidak harmonis/disinkroni ini, diharapkan para profesional (psikolog, pedagog, dokter, dan tenaga lainnya) melakukan kerjasama, bersama-sama melakukan kesepakatan, melakukan kajian yang lebih mendalam yang dilandasi oleh disiplin keilmuan masing-masing.
2. Membangun sistem referal dalam sebuah network antar berbagai profesi dan bidang kajian masing-masing.
3. Memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada fihak orang tua anak-anak ini dalam hal tatalaksana sistem diagnosa, pengasuhan, dan pendidikan, dengan materi keilmuan yang dilandasi berdasarkan evidence base dan bukan pseudoscience.
4. Membanjirnya konsep anak bertalenta dan miskonsepsi tentang keberbakatan di media
5. massa (radio, televisi, media cetak, dan internet) dan masyarakat luas, yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada pengetahuan dan kesadaran orang tua dalam membimbing anak-anaknya ini, kebingungan masyarakat atas berita-berita yang simpang siur tidak tahu lagi mana yang dapat dipercaya, maka untuk mengatasi ini diharapkan fihak-fihak lembaga ilmiah dapat secara aktif melakukan penyuluhan di masyarakat luas.
DAFTAR BACAAN
Baum,S (1990): Gifted but Learning Disabled: A Puzzling Paradox, Eric Digest #E479. http://ldonline.org/ld_indepth/gt_ld/eric_digest479.html
Buitelaar, JK & van der Gaag, RJ (1998): Diagnostic Rules for Children with PDD-NOS and Multiple Complex Development Disorder, J Child. Psychol. Psychiat. Vol 39 no 6 pp 911-919.
Buitelaar, JK; van der Gaag,R; Klin,A; Volkmar,F (1999): Exploring the Bounderies of Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified: Analyses of Data from the DSM IV Autistic Disorder Field Trial, Journal of Autism and Developmental Disorder, vol 29, no 1, p 33 – 43.
Chermak.G, Hall.J, & Musiek (1999): Differential Diagnosis and Management of Central Auditory Processing Disorder and Attention Deficit Hyperactivity Disorder, J Am Acad Audiol, 10, 289-3003
Crealock,C & Kronick,D (1993): Children and Young People with Specific Learning Disabilities, Learning Disabilities Association of Canada, Unesco, 1993.
Cox, M & Eames, K (1999): Constrasting Styels of Drawing in Gifted with Individuals with Autism, Sage Pub & Autistic Society. http://aut.sagepub.com/cgi/reprint/3/4/397.pdf
Emmen, R (2003): Het seksualiteit van volwassenen met het Asperger syndrom, Wetenschaplijk Tijdschrift Autisme, 2, p 44 – 58.
de Bruin – de Boer, A & de Greef, E (1993): Hooginteligente Kinderen in het basisonderwijs, de Ruiter - Uitgevrij Clavis bvba – Belgie.
De Bruin-de Boer, A (2002): Definitie en signalering van hoogbegaafdheid, Proceeding Seminar: Oog voor Oplossingen, herkenning, erkenning, en acceptatie van hoogbegaafde kinderen, landelijke vereniging Pharos, De Huisdrukkerij, Ridderkerk.
De Groot, R; Chapel,G; Halfwerk,B (1992): Leermoeilijkheden en visuele opvoeding, Garant, Leuven- Apeldoorn.
De Groot, R & Paagman, C (2000) : Kinderen met leer en gedragsprobelemen, Boom, Amsterdam.
De Hoop,F & Janson,DJ (1997): Omgaan met verschillen, adaptief werken aan basisonderwijs, Uitgevrij Intro, Baarn.
De Hoop, F & Janson, D J (1999): Omgaan met (hoog)begaafde kinderen, Uitgevruj Intro, Baarn.
Fruemau, M (2001): Social-Emotional Hoogbegaafde Kinderen, HINT – Limburg.
Gerven, E (2002): Hoogbegaafd en ADHD, Dubbel ingewikkeld, Talent Tijdschrift, Jaargang 4 – nr 2.
Greenspan, SI & Salmon, J (1995): Kinderen met Probleemgedrag, Het Spectrum, Den Haag.
Greenspan, SI (1998a): Developmental Approach to Problem in Relating and Communicating in Autistic Spectrum Disorder and Related Syndrom, International Symposium on Autism, Geneva Center for Autism, Geneva.
Greenspan, S I & Wieder,S (1998b): The Child with Special Needs, Perseus Books, Reading, Massachusetts
Gunning, WB (1998): Behandelingsstrategieën bij kinderen en Jeugdigen met ADHD, Cure & Care Develeopment , Bohn Stafleu van Loghum, Houten/Diegem.
Honstra, G (2003): De invloed van voeding op gedrag bij autisme, Wetenschapplijk Tijdschrift Autisme, 1, p 4 – 13.
Hupkens, E (2002): Hoogbegaafd en Asperger, In onze wereld op hun eigen wijze, Talent Tijdschrift, Jaargang 4-nr 2.
Jurgens, K (1991): Hoogbegaafd, wat betekent dat?, Uitgave Vereniging Mensa Nederland- CIP-Gegeven Koninklijke Bibliotheek – Den Haag.
Kraijer, DW (2003): Stereotipik gedrag, autismespectrumstoornissen en enkele syndromen, Wetenschapplijk Tijdschrift Autisme, 1, p 24 – 29.
Kutcher,S; Aman,M: Brooks,SJ; Buitelaar,JK, van Daalen,E; Fregert,J; Findling,RL; Sandra F; Greenhill, LL; Huss,M; Kusumakar,V; Pine,D; Taylor,E, Tyano,S (2004): International Consensus Statement on attention –deficit/hyperactivity disorder (ADHD) and disriptive behaviour disorder (DBDs): clinical implication and treatment practice sugestion, European Neuropsychopharmacology 14 11-28
Levine, M(2002): A mind at a time, Simon & Schuster, New York.
Levine, M (2004): The Myth of Laziness, Simon & Schuster, London.
Lloyd,JW; Kameenui,EJ; Chard,D (1997): Issues in Educating Student with Disabilities, Lawrence ErlbaumAssociates Publisher, London.
Nelissen, J & Span, P (1999): Begaafde kinderen op basisschool, Bekadidact, Baarn.
Nijenhuis, K (2003): Kinderen met Luisterproblemen, UMC St Radboud afd KNO/audiologisch centrum Nijmegen, Multiprint, Doorn.
Momma, K (1998): En toen verscheen een regenboog, Prometheus, Amsterdam.
Monks, FL & Knoers, AMP ( 1999) : Ontwikkelingspsychology – inleiding tot de verschillende deelgebieden, van Gorcum - Assen.
Mooij, T (red) (1991): Onderwijs aan hoogbegaafde Kinderen, Dick Coutinho – Muiderberg.
Mooij, T (1991): Schoolproblemen van hoogbegaafde kinderen, richtlijnen voor passend onderwijs, Dick Coutinho - Muiderberg.
Poelman, MN & Peters WAM (2001): Psychologische Onderzoek Johan van Tiel, Centrum voor Begaafheids Onderzoek, Katholieke Universitiet Nijmegen-Netherland .
Paternotte, A (1997): Wij hebben een kind PDDNOS, Diagnose steeds vaker gesteld, Tijdschrift Balans, ed. September 17 – 19.
Reuver,J (2003): De WISC-RN als presenterblaadje? Een onderzoek naar het vaststellen van schoolproblemen bij kinderen op basis van het verschil tussen hun verbal en performal IQ, Doctoraalscrieptie opleiding Pedagogische wettenschappen afstudeerichting orthopedagogiek, Universiteit Leiden.
Rigo,T G; Arechole,S;Hayes,P A (1998): Central Auditory Processing Disorder Abilities of Low-Achieviing Gifted Adolescents, Journal of Sevondary Gifted Education, Vol 10, No 1, p 217-226.
Sack, O (2002): Anthropolog op Mars, Meulenhoff, Amsterdam.
Silverman, L. K.(1997) Finding and Serving Gifted Children Learning Disabilities . Address to the Colorado Parent Institute, Denver USA
Silverman, L. K.(1998) The Other Way of Knowing: The Visual Spatial Learner . http://www.gifteddevelopment.com/Articles/Catalog%20Articles/Visual%20Spatial%20Learners/V-100%20The%20Visual%20Spatial%20Learner.pdf
Stam, E (2001): Ontwikkelingonderzoek op het consultatiebureau – Gerichte advissering aan ouders is wel moglijk, Talent Tijdschrift over hoogbegaafdheid ed Maart – Utrecht.
Sword, L (2002): Identifying Gifted Visual Spatial Learners, Gifted Resource Center, NSW,Australia.
http://giftedservices.com.au/handouts/Gifted%20VSL%20Initial%20Indicator.doc
van der Sijde, A (2002): Kan autism worden veroorzaakt door een verstoorde darmflora? Wtenschapplijk tijdschrift Autisme, 3, p 14 – 20.
van der Kolk-Wolthaar, S (1997): Horen, zien en niet zwijgen, kinderen met een pervasive ontwikkelingstoornis, Publicatie tbv bijschooling consultatiebureau-artsen, RIAGG Enschede/Midden – Twente.
Van Overbeek, MA (2001): Faalangst onder hoogbegaafde leerlingen, Bang te falen, Talent Augustus,jaargang 3, nr. 5.
van Gerven, E (2001): Een Kleuter noemen we niet hoogbegaafd, die heeft een ontwikkelingvoorsprong – Slime Kleuter, Talent Tijdschrift over Hoogbegaafdheid ed Januari – Utrecht.
Van Vugt-van de Moosdijk, L (2002): Co-morbiditeit: als ‘stoornissen samenkomen’ Hoogbegaafd plus…, en dan?, Seminar Oog voor oplossingen, herkening erkening en acceptatie van hoogbegaafde kinderen, derde Lustrum Pharos, Zwolle.
Webb,JT (2000): Mis-Diagnosis and Dual Diagnosis of Gifted Children: Gifted and LD, ADHD, OCD, Oppotitional Defiant Disorder, paper presented at the American Psuchological Assosiation Anual Convention, Washington DC, Great Potential Press, Inc.
Webb,J; Mckstroth,EA; Tolan,SS (2000): De begeleiding van hoogbegaafde kinderen, van Gorcum, Assen.
Young,RL;Brewer,N; Pattison,C (2003): Parental Identification of early identification abnormalities in children with autsitic disorder, Sage Pub and the national autistic society.